Jumat, 29 April 2011

Fitrah Manusia dan Implikasinya Terhadap Pendidikan

A. Pengertian Fitrah Manusia
            Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik diantara makhluk Allah yang lain. Struktur manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah atau unsur fisiologis.[1]Dalam unsur ini Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memilki kecenderungan berkarya yang disebut potensialitas. Yang menurut pandangan Islam dinamakan “Fitrah”.
            Dalam pengertian lain dijelaskan secara rinci:           
1.         Kata fitrah berasal dari kata (fi’il) fathara yang berarti “menjadikan” secara etimologi fitrah berarti kejadian asli,agama, ciptaan, sifat semula jadi, potensi dasar, dan kesucian.[2]
2.         Menurut ibn al-Qayyim dan ibn al-Katsir, karena fatir artinya menciptakan, maka fitrah artinya keadaan yang dihasilkan dari penciptaannya itu.[3]
3.         Menurut hadist yang diriwayatkan oleh ibnu Abbas, fitrah adalah awal mula penciptaan manusia. Sebab lafadz fitrah tidak pernah dikemukakan oleh al-Qur’an dalam konteksnya selain dengan manusia.[4]
4.         Dalam kamus susunan Mahmud Yunus, fitrah diartikan sebagai agama, ciptaan, perangai, kejadian asli.[5]
5.         Dalam kamus Munjid kata fitrah diartikan dengan agama, sunnah, kejadian, tabiat.
6.         Menurut Syahminan Zain (1986 : 5), bahwa fitrah adalah potensi laten atau kekuatan yang terpendam yang ada dalam diri manusia, yang dibawanya sejak lahir.
Pengertian secara etimologi tersebut masih bersifat umum, untuk mengkhususkan arti fitrah, hendaklah perhatikan firman Allah SWT dalam Q.S Ar-Rum : 30:
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya (sesuai dengan kecenderungan aslinya), itulah fitrah Allah. Yang Allah menciptakan manusia diatas fitrah itu. Itulah agama yang lurus. Namun kebanyakan orang tidak mengetahuinya
Adapun sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah :
Tiap-tiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hanya bapak ibulah yang menjadikan Yahudi, Nasrani dan Majusi”.(H.R. Muslim)
Bila di interpretasikan lebih lanjut dari istilah “Fitrah” sebagaimana tersebut dalam ayat al-Qur’an dan Hadist, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.            Fitrah yang disebutkan dalam ayat tersebut mengandung implikasi pendidikan.Oleh karena itu, kata fitrah mengandung makna “kejadian” yang didalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus yaitu islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapa pun. Karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
2.            Fitrah berarti agama, kejadian. Maksudnya adalah agama Islam ini bersesuaian dengan kejadian manusia. Karena manusia diciptakan untuk melaksanakan agama (beribadah). Hal in dikuatkan oleh firman Allah dalam surat adz-Dzariyat(51):56[6]
3.            Fitrah Allah berarti ciptaan Allah, Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama, yaitu agama Tauhid; maka hal itu tidak wajar kalau manusia tidak beragama tauhid. Mereka tidak beragama tauhid itu hanya lantaran pengaruh lingkungan. Tegasnya manusia menurut fitrah beragama tauhid. 
4.            Fitrah berarti ciptaan, kodrat jiwa, budi nurani. Maksudnya bahwa rasa keagamaan, rasa pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa itu adalah serasi dengan budi nurani manusia. Adapun manusia yang bertuhankan kepada yang lain-lain adalah menyalahi kodrat kejiwaannya sendiri.
5.            Fitrah berarti ikhlas. Maksudnya manusia lahir dengan berbagai sifat, salah satunya adalah kemurnian (keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas. Berkaitan dengan makna ini ada hadist yaitu: “ Tiga perkara yang menjadikannya selamat adalah ikhlas, berupa fitrah Allah, di mana manusia diciptakan darinya, sholat berupa agama, dan taat berupa benteng penjagaan” (HR. abu Hamid dari Muadz)
6.            Fitrah berarti potensi dasar manusia. Maksudnya potensi dasar manusia ini sebagai alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah.Para filosof yang beraliran empirisme memandang aktivitas fitrah sebagai tolok ukur pemaknaannya.
B.               Komponen-komponen Psikologis dalam Fitrah
Jika kita perhatikan berbagai pandangan para ulama dan ilmuwan Islam yang telah memberikan makna terhadap istilah “Fitrah” yang diangkat dari firman Allah dan sabda Nabi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa fitrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang manusia yang dianugrahkan Allah kepadanya. Di dalamnya terkandung berbagai komponen psikologis yang satu sama lainnya saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia.
Komponen-komponen potensial fitrah tersebut adalah:
1.            Kemampuan dasar untuk beragama (ad-dinul qayyimah), di mana factor iman merupakan intinya beragama manusia. Muhammad Abduh, Ibnu Qayyim, Abu A’lah al-Maududi, Sayyid Qutb berpendapat sama bahwa fitrah mengandung kemampuan asli untuk beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau identik dengan fitrah. Ali fikri lebih menekankan pada peranan heredetas (keturunan) dari bapak-ibu yang menentukan keberagaman anaknya. Faktor keturunan psikologis (hereditas kejiwaan) orang tua anak merupakan salah satu aspek dari kemampuan dasar manusia.
2.            Mawahib (bakat) dan Qabiliyat (tendensi atau kecenderungan) yang mengacu pada keimanan kepada Allah. Dengan demikian maka “fitrah” mengandung komponen psikologis yang berupa keimanan tersebut. Karena iman bagi seorang mukmin merupakan daya penggerak utama dalam dirinya yang memberikan semangat untuk selalu mencari kebenaran hakiki dari Allah. Pendapat tersebut antara lain dikemukakan oleh Prof. Dr. Mohammad Fadhil al-Djamali, Guru besar ilmu pendidikan pada Universitas Tunis dengan alasan, “adapun Islam itu adalah agama yang mendorong manusia untuk mencari pembuktian melalui penelitian, berpikir, dan merenungkan ke arah iman yang benar.”
3.            Naluri dan kewahyuan bagaikan dua sisi dari uang logam; keduanya saling terpadu dalam perkembangan manusia. Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung, Fitrah itu dapat dilihat dari dua segi yakni; segi naluri sifat pembawaan manusia atau sifat-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia sejak lahir, dan segi wahyu Tuhan yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya. Jadi potensi manusia dan agama wahyu itu merupakan satu hal yang nampak dalam dua sisi, ibarat mata uang logam yang mempunai dua sisi yang sama.Mata uang itulah kita ibaratkan fitrah. Kemampuan menerima sifat-sifat Tuhan dan mengembangkan sifat-sifat tersebut adalah merupakan potensi dasar manusia yang terbawa sejak lahir.
4.            Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya terbatas dalam agama Islam. Dengan kemampuan ini manusia dapat dididik menjadi beragama Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi, namun tidak dapat dididik menjadi atheis (anti Tuhan). Pendapat ini diikuti oleh banyak ulama Islam yang berfaham ahli Mu’tazilah antara lain Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun.
5.            Aspek-aspek psikologis dalam fitrah adalah merupakan komponen dasar yang bersifat dinamis, responsive terhadap pengaruh lingkungan sekitar, termasuk pengaruh pendidikan.
Aspek-aspek tersebut adalah:
a.          Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada perkembangan akademis dan keahlian dalam bidang kehidupan. Bakat ini berpangkal pada kemampuan Kognisi (daya cipta), Konasi (Kehendak) dan Emosi (rasa) yang disebut dalam psikologi filosifis dengan tiga kekuatan rohaniah manusia.
b.      Insting atau gharizah adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar. Kemampuan insting ini merupakan pembawaan sejak lahir. Dalam psikologi pendidikan kemampuan ini termasuk kapabilitas yaitu kemampuan berbuat sesuatu dengan tanpa belajar.
c.       Nafsu dan dorongan-dorongan. Dalam tasawuf dikenal nafsu-nafsu lawwamah yang mendorong kearah perbuatan mencela dan merendahkan orang lain. Nafsu ammarah yang mendorong kea rah perbuatan merusak, membunuh atau memusuhi orang lain. Nafsu berahi (eros) yang mendorong ke arah perbuatan seksual untuk memuaskan tuntutan akan pemuasan hidup berkelamin. Nafsu mutmainnah yang mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut al-Ghazali, nafsu manusia terdiri dari nafsu malakiah yang cenderung ke arah perbuatan mulia sebagai halnya para malaikat, dan nafsu bahimiah yang mendorong ke arah perbuatan rendah sebagaimana binatang.
d.      Karakter adalah merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak lahir. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter terbentuk oleh kekuatan dari dalam diri manusia, bukan terbentuk dari pengaruh luar
e.       Hereditas atau keturunan adalah merupakan factor kemampuan dasar yang mengandung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan oleh orang tua baik dalam garis yang terdekat maupun yang telah jauh.
f.       Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham Tuhan. Intuisi menggerakkan hati nurani manusia yang membimbingnya ke arah perbuatan dalam situasi khusus diluar kesadaran akal pikiran, namun mengandung makna yang bersifat konstruktif bagi kehidupannya. Intuisi biasanya diberikan Tuhan kepada orang yang bersih jiwanya.[7]
C.               Implikasi Fitrah Manusia Terhadap Pendidikan
Alat-alat potensial dan berbagai potensial dasar atau fitrah manusia tersebut harus ditumbuhkembangkan secara optimal dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayatnya. Manusia diberikan kebebasan untuk berikhtiar mengembangkan alat-alat potensial dan potensi-potensi dasar atau fitrah manusia tersebut. Namun demikian, dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak dapat lepas dari adanya batas-batas tertentu, yaitu adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam, hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri, yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung pada kemauan manusia. Hukum-hukum inilah yang disebut dengan taqdir (Keharusan universal)
Di samping itu, pertumbuhan dan perkembangan alat-alat potensial dan fitrah manusia itu juga dipengaruh oleh faktor-faktor hereditas, lingkngan alam, lingkungan sosial, sejarah. Dalam ilmu-ilmu pendidikan ada 5 macam faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan, yaitu tujuan, pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan. Karena itulah maka minat, bakat, kemampuan (skill), sikap manusia yang diwujudkan dalam kegiatan ikhtiarnya dan hasil yang dicapai dari kegiatan ikhtiarnya tersebut bermacam-macam.[8]
Fitrah berisi daya-daya yang wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha manusia sendiri. Oleh karena itu fitrah harus dikembalikan dalam bentuk-bentuk keahlian, laksana emas atau minyak bumi yang terpendam di perut bumi, tidak ada gunanya kalau tidak digali dan diolah untuk manusia. Di sinilah letak tugas utama pendidikan. Sedangkan pendidikan sangat dipengaruhi oleh factor pembawaan dan lingkungan (nativisme dan empirisme). Namun ada perbedaan antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum. Pendidikan Islam berangkat dari filsafat pendidikan theocentric, sedangkan pendidikan umum berangkat dari filsafat anthropocentric.
Theocentric memandang bahwa semua yang ada diciptakan oleh Tuhan, berjalan menurut hukum-Nya. Filsafat ini memandang bahwa manusia dilahirkan sesuai dengan fitrah-Nya dan perkembangan selanjutnya tergantung pada lingkungan dan pendidikan yang diperoleh. Sedang seorang guru hanya bersifat membantu, serta memberikan penjelasan-penjelasan sesuai dengan tahap perkembangan pemikiran serta peserta didik sendirilah yang harus belajar. Sedangkan filsafat anthropocentric lebih mendasarkan ajaran pada hasil pemikiran manusia dan berorientasi pada kemampuan manusia dalam hidup keduniawian. Dalam pendidikan Islam hidayah Allah menjadi sumber spiritual yang menjadi penentu keberhasilan akhir dari proses ikhtiyariah manusia dalam pendidikan.[9] 
Fitrah manusia dan implikasinya dalam pendidikan dapat dijelaskan lebih lanjut dengan:
1.      Pemberian stimulus dan pendidikan demokratis
Manusia ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh dikatakan sudah selesai, “Physically and biologically is finished”, tetapi dari segi rohani, spiritual dan moral memang belum selesai, “morally is unfinished”.
Manusia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan responsif, sehingga ia menjadi makhluk yang responsible (bertanggung jawab). Oleh karena itu pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.
2.      Kebijakan pendidikan perlu pertimbangan empiris.
Dengan bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia dalam pendidikan islam dapat disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan sejauh menyangkut development dan becoming sesuai dengan citra manusia menurut pandangan islam.
3.      Konsep fitrah dan aliran konvergensi
Dari satu sisi, aliran konvergensi dekat dengan konsep fitrah walaupun tidak sama karena perbedaan paradigmanya. Adapun kedekatannya:
Pertama: Islam menegaskan bahwa manusia mempunyai bakat-bakat bawaan atau keturunan, meskipun semua itu merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan,
Kedua: Karena masih merupakan potensi maka fitrah itu belum berarti bagi kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan.
            Namun demikian, dalam Islam, faktor keturunan tidaklah merupakan suatu yang kaku sehingga tidak bisa dipengaruhi. Ia bahkan dapat dilenturkan dalam batas tertentu. Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah lingkungan dengan segala anasirnya. Karenanya, lingkungan sekitar ialah aspek pendidikan yang penting. Ini berarti bahwa fitrah tidak berarti kosong atau bersih seperti teori tabula rasa tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial


[1] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991) hlm 88
[2] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985), hlm 215
[3] Muis Said Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004) hlm 17
[4] Murtadha Muthahari, Fitrah, cet 1, (Jakarta: 1998) hlm 6-17
[5] Mahmud Yunus, Kamus Arab-indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir al-Qur’an,1973) hlm 319
[6] Al-Qur’an dan tafsirnya…hlm 571
[7] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991) hlm 103
[8] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakrya, 2002) hlm 19
[9] Muis Said Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004) hlm 27

1 komentar:

  1. makasi ya....
    n aq ngeposnya di blogq, q juga cantumin nama qm, mari berbagi info,
    http://zulfikarkoqnita-thescorpionzulfikar.blogspot.com/

    BalasHapus