Sabtu, 23 April 2011

Kritik Hadits tentang Kewajiban Sholat Witir

A.    Meneliti Sanad Hadits
Hadits yang diteliti adalah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن عَمْرٍو٬ عَنْ ٲَبِي سَلَمَةَ ٬ عَنْ ٲَبِي هُرَيْرَةَ ٬عَنْ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلََيْهِ وَسَلَّمَ : ˝مَنْ لَمْ يُوِترْ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ˝ - المعجم الكبير للطبرانى
“Diceritakan dari muhammad ibn  ‘amrin, dari abi salmah, dari abi hurairah, dari Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang belum mengerjakan witir, maka tiada  sholat baginya”
B.     Hadits yang Semakna
Redaksi hadits yang semakna adalah:
١-عن ابي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه و سلم من لم يوتر فلا صلاة له- المعجم الأوسط. من اسمه علي

٢- وبه : حدثنا محمد بن عمرو ، عن أبي سلمة ، عن أبي هريرة ، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم « من لم يوتر فلا صلاة له »-المعجم الأوسط للطبراني.من اسمه علي

٣-من لم يوتر فلا صلاة له (الطبرانى فى الأوسط عن أبى هريرة)أخرجه الطبرانى فى الأوسط (4/215 ، رقم 4012) . قال الهيثمى (1/293) : رواه الطبرانى فى الأوسط وقال لم يروه عن محمد بن عمرو إلا عيسى بن واقد قلت ولم أجد من ذكره .- جا مع الأحاديث.حرف ميم , جمع الجوامع اوالجامع الكبير.حرف ميم

٤-وعن أبي سلمة عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
"من لم يوتر فلا صلاة له"،بلغ ذلك عائشة فقالت: من سمع هذا من أبي القاسم صلى الله عليه وسلم؟ والله ما بعد العهد وما نسيت إنما قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلم: "من جاء بصلوات الخمس يوم القيامة قد حافظ على وضوئها ومواقيتها وركوعها وسجودها لم ينقص منها شيئاً جاء وله عند الله عهد أن لا يعذبه،ومن جاء قد انتقص منهن شيئاً فليس له عند الله عهد إن شاء رحمه وإن شاء عذبه".مجمع الزوائدومنبع الفوائد.المجلد الأل
٥-وَلِابْنِ حِبَّانَ: ( مَنْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ وَلَمْ يُوتِرْ فَلاَ وِتْرَ لَهُ )

C.     Skema Sanad Hadits
رسول الله


أبي هريرة

أبي سلمة

محمد بن عمرو

الطبراني
Analisa Kritik Sanad Hadits
1.      Analisis hadits dari segi kuantitas sanad
Dari segi jumlah sanad, diriwayatkan oleh ath-thobroni dalam al-Mu’jam al-Ausath, mu’jam al-kabir. Sejak perawi pertama sampai terakhir hanya melibatkan satu orang  perawi dari kalangan sahabat. Jika merujuk pada segi kuantitas sanad hadist, maka hadist tersebut tergolong hadist Gharib Muthlaq (hadist yang diriwayatkan oleh satu orang sahabat saja). Terbukti pada Thabaqat pertama, yakni Thabaqat Shahabat hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Pada Thabaqat kedua, yakni Thabaqat Tabi’in yakni Abu salamah, sampai thabiqat ketiga dan seterusnya.

2.      Analisis hadits dari segi kualitas sanad
Hadist yang diriwayatkan oleh Imam at-Thobroni Hadist ini melalui satu jalur sanad, yakni sebagai berikut:
a.     Hadist imam at-Thobroni (360 H)
b.    Diterima dari Muhammad bin ‘amrin (w. ? H)
c.     Diterima dari abu Salamah (w. ? H)
d.    Diterima dari Abi Hurairah( w. 57 H)
e.     Diterima dari Rosulullah SAW (51 SH - 12 H)
Dari sisi persambungan sanad, hadist yang diriwayatkan melalui rangkaian perawi diatas dapat disimpulkan sebagai Muttashil. Hal ini dapat dibuktikan bahwa masing-masing perawi dengan perawi terdekat sebelumnya pernah hidup satu generasi dan terbukti ada pertemuan, karena mereka memiliki hubungan guru dan murid.

            Dari segi kualitas sanad, hadits ini tergolong hadits hasan lidzatihi (hadits yang sanadnya bersambung dari awal sampai akhir dan diceritakan orang-orang yang adil tetapi kurang dlabit, tidak ada syudzut dan illat), Karena:
a.    Abi Hurairah      : adil dan dlobith (tsiqah)
b.    Abu Salamah     : adil dan dlobith (tsiqah)
c.    Muhammad bin ‘Amrin : adil tetapi kedlobitannya kurang.[1]
E.     Analisa Kritik Susunan Redaksi Matan Hadits
            Lafad hadits “من لم يوتر فلا صلاة له “ terdapat beberapa redaksi yang sama, dan hanya satu redaksi yang terdapat perbedaan redaksi dari hadits yang penulis teliti, sehingga dari segi redaksi matan hadits tersebut tidak memiliki illat atau syudzudz, meskipun dalam segi makna memiliki kerancuan.
1.      Mengelompokkan dan membandingkan beberapa redaksi hadits
Dalam menganalisis matan hadits tersebut, penulis mengelompokkan dan membandingkan beberapa redaksi hadits yang diriwayatkan dari kalangan sahabat abu hurairah
Ø         Hadits yang diteliti dalam al-mu’jam kabir ath-thobroni
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن عَمْرٍو٬ عَنْ ٲَبِي سَلَمَةَ ٬ عَنْ ٲَبِي هُرَيْرَةَ ٬عَنْ رَسُوْلُ الله
صَلَّى الله عَلََيْهِ وَسَلَّمَ : ˝مَنْ لَمْ يُوِترْ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ˝
Ø         Dalam al-mu’jam al-ausath
عن ابي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه و سلم من لم يوتر فلا صلاة له
Ø         Dalam al-mu’jam al-ausath lithobroni
 وبه : حدثنا محمد بن عمرو ، عن أبي سلمة ، عن أبي هريرة ، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم « من لم يوتر فلا صلاة له »


Ø         Dalam jami’ al-ahadits dan jami’ al-kabir
من لم يوتر فلا صلاة له (الطبرانى فى الأوسط عن أبى هريرة)أخرجه الطبرانى فى الأوسط (4/215 ، رقم 4012) . قال الهيثمى (1/293) : رواه الطبرانى فى الأوسط وقال لم يروه عن محمد بن عمرو إلا عيسى بن واقد قلت ولم أجد من ذكره
Ø         Dalam mujammi’ az-zawaid dan munabbi’ al-fawaid
وعن أبي سلمة عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:"من لم يوتر فلا صلاة له"،بلغ ذلك عائشة فقالت: من سمع هذا من أبي القاسم صلى الله عليه وسلم؟ والله ما بعد العهد وما نسيت إنما قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلم: "من جاء بصلوات الخمس يوم القيامة قد حافظ على وضوئها ومواقيتها وركوعها وسجودها لم ينقص منها شيئاً جاء وله عند الله عهد أن لا يعذبه،ومن جاء قد انتقص منهن شيئاً فليس له عند الله عهد إن شاء رحمه وإن شاء عذبه".
Ø Dalam ibnu Hiddan

وَلِابْنِ حِبَّانَ: ( مَنْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ وَلَمْ يُوتِرْ فَلَا وِتْرَ لَهُ )
“Menurut Riwayat Ibnu Hibban: "Barangsiapa telah memasuki waktu Shubuh sedang dia belum sholat witir, maka tiada witir baginya."
* Dari redaksi yang semakna, Dalam al-mu’jam al-ausath, al-mu’jam al-ausath lithobroni, jami’ al-ahadits dan jami’ al-kabir, mujammi’ az-zawaid dan munabbi’ al-fawaid tidak terdapat perbedaan lafadz.
* Tetapi dari hadits yang diteliti dengan hadits riwayat ibnu hibban terdapat reduksi (penyusutan) : من لم يوتر    -----)              مَنْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ وَلَمْ يُوتِرْ
Tashif dan tahrif (perubahan bentuk kata dan cara baca) yakni :
 فلا صلاة له              -----)         فَلا وِتْرَ لَهُ 
Meneliti Kandungan Makna Hadits
1.      Syarah Hadits
١-( من لم يوتر فلا صلاة له ) أي كاملة ( طس عن أبي هريرة من لم يوص ) قبل موته ( لم يؤذن له في الكلام مع الموتى ) عقوبة له على ترك ما أمر به وتمامه عند مخرجه قيل يا رسول الله ويتكلمون قال نعم ويتزاورون ( أبو الشيخ في ) كتاب ( الوصايا عن قيس ) بن قبيصة ( من مات محرما حشر ملبيا ) لان من مات على شئ بعث عليه ( خط عن ابن عباس من مات مرابطا في سبيل الله آمنه الله من فتنة القبر ) التحير في سؤال الملكين ( طب عن أبي امامة ) واسناده حسن ( من مات على شئ بعثه الله عليه ) أي يموت على ما عاش عليه ويبعث على ذلك ( حم ك عن جابر ) واسناده صحيح ( من مات من أمتي ) وهو ( يعمل عمل قوم لوط ) ودفن في مقابر المسلمين ( نقله الله اليهم ) أي الى مقابرهم فصيره فيهم ( حتى يحشر معهم ) أي فيكون معهم أينما كانوا والقصد بذلك الزجر والتنفير أو الكلام في المستحل ( خط عن أنس ) ثم قال حديث منكر
                 Dari syarah hadits yang penulis teliti mengandung makna “siapa yang belum sholat witir, maka tiada sholat baginya. Maka sempurnakanlah” jadi, apabila seseorang sudah menunaikan kewajibannya melakukan sholat fardlu, tetapi tidak melakukan sholat witir, maka sholatnya kurang sempurna. Sehingga dari syarah hadits di atas penulis menafsirkan bahwa, sholat  witir sebagai penyempurna dari sholat fardlu. Bukan sebagai suatu kewajiban. Jadi, dari syarah hadits ini sudah jelas kandungan makna, dan tidak terdapat kerancuan. Bahwa hanya sholat 5 waktu lah yang menjadi kewajiban umat Islam. Sholat witir hanya sebagai penyempurna dari sholat fardlu. Dan hukumnya adalah sunnat muakad, yakni sunnat yang dianjurkan oleh Nabi. Tetapi untuk lebih lanjutnya, penulis akan mencantumkan mengenai konfirmasi dengan al-Qur’an, konfirmasi dengan hadits yang sejalan, dan konfirmasi dengan hadits yang tidak sejalan. Sehingga akan ditemukan titik temu antara kontraversi hadits yang sejalan dan hadits yang tidak sejalan berdasarkan konfirmasi hadits yang lebih tinggi dan pendekatan kaidah fiqih.
2.      Konfirmasi dengan al-Qur’an
  
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” QS. Al-Kautsar: 2
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” QS. Al-Baqarah: 110

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” QS. An-Nisa’: 103
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” QS. Ibrahim: 31
                  Dari semua ayat al-Qur’an yang menjelaskan mengenai sholat, Allah menyuruh manusia untuk mendirikan sholat. Sehingga, penulis menafsirkan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tersebut berkaitan dengan hadits yang penulis teliti. Karena dalam hadits yang kami teliti secara tidak langsung tujuannya adalah untuk menyempurnakan sholat witir. Dimana sholat yang dikerjakan atau didirikan itu tidak hanya mencakup sholat fardlu tetapi sholat sunnah yang dianjurkan Rasulullah seharusnya juga dilaksanakan.
3.      Konfirmasi dengan hadits yang sejalan
وَعَنْ جَابِرٍ ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَامَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ, ثُمَّ اِنْتَظَرُوهُ مِنْ اَلْقَابِلَةِ فَلَمَّا يَخْرُجْ , وَقَالَ : " إِنِّي خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ اَلْوِتْرُ)  رَوَاهُ اِبْنُ حِبَّانَ
“Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sholat malam pada bulan Ramadhan. Kemudian orang-orang menunggu beliau pada hari berikutnya namun beliau tidak muncul. Dan beliau bersabda: "Sesungguhnya aku khawatir sholat witir ini diwajibkan atas kamu." Riwayat Ibnu Hibban.
                  Dalam hadits riwayat Ibnu Hibban, Rasulullah khawatir jika sholat witir itu merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam. Sehingga dengan hadits di atas, sholat witir itu merupakan hal yang penting untuk dilakukan.
َوَعَنْ أَبِي أَيُّوبَ اَلْأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( اَلْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ , مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ , وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ , وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ )  رَوَاهُ اَلْأَرْبَعَةُ إِلَّا اَلتِّرْمِذِيَّ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ , وَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ وَقْفَهُ
 “Dari Ayyub al-Anshory bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Witir itu keharusan bagi setiap muslim. Barangsiapa senang sholat witir lima rakaat hendaknya ia kerjakan, barangsiapa senang sholat witir tiga rakaat hendaknya ia kerjakan, barangsiapa senang sholat witir satu rakaat hendaknya ia kerjakan." Riwayat Imam Empat kecuali Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan mauquf menurut Nasa'i.
                                 Hadits di atas sejalan dengan hadits yang penulis teliti, karena hadits ini mengenai keharusan untuk melakukan sholat witir.
4.      Konfirmasi dengan hadits yang tidak sejalan




َوَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عنه قَالَ : ( لَيْسَ اَلْوِتْرُ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ اَلْمَكْتُوبَةِ , وَلَكِنْ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم )  رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ




“Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu 'anhu berkata: Witir itu tidaklah wajib sebagaimana sholat fardlu, tapi ia hanyalah sunat yang dilakukan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Hadits diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa'i dan Hakim. Hasan menurut Tirmidzi dan shahih menurut Hakim.”
ورواه ابن المنذر وقال فيه,, الوتر حق وليس بواجب
“Ibnu Mundzir meriwayatkan, dan ia mengatakan dalam hadits tersebut bahwa rasulullah bersabda: witir itu adalah hak, tetapi bukan wajib.”
Meneliti ke-Muallalan Matan Hadits
Konfirmasi dengan dalil akal
      Dari hadits riwayat imam at-thobroni, menyatakan bahwa, “siapa yang belum sholat witir, maka tiada sholat baginya”. Dari lafadz “فلا صلاة له” memiliki kerancuan, sholat apakah yang dimaksud?? Terkadang penulis kebingungan untuk menafsirkan sealah-olah dari lafadz tersebut shalat witir merupakan sholat yang lebih diutamakan daripada sholat fardlu, karena melihat dari substansial hadits tersebut, “siapa yang belum sholat witir, maka tiada sholat baginya”.
      Maka dari itu, menurut dalil akal, hadits tersebut memiliki kerancuan. Sehingga perlu adanya penelitian matan lebih lanjutnya
Mencari Titik Temu
            Dalam berbagai konfirmasi hadits yang sejalan dan tidak sejalan, penulis mencari titik temu tentang sholat witir apakah wajib atau tidak diwajibkan, sehingga penulis menggunakan beberapa upaya titik temu, yakni:

1.      Pendekatan kaidah fiqih
      Perlu diketahui bahwa hadits-hadits konfirmasi yang sejalan maupun tidak sejalan dengan hadits yang kami teliti, menunjukkan bahwa witir itu wajib dan ada juga yang menunjukkan tidak wajib.
v  Jumhur ulama’ menyatakan bahwa witir itu tidak wajib, tetapi sunnah. Dasar dari pendapat jumhur ulama adalah:

َوَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عنه قَالَ : ( لَيْسَ اَلْوِتْرُ بِحَتْمٍ كَهَيْئَةِ اَلْمَكْتُوبَةِ , وَلَكِنْ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم)  رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ
“Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu 'anhu berkata: Witir itu tidaklah wajib sebagaimana sholat fardlu, tapi ia hanyalah sunat yang dilakukan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Hadits diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa'i dan Hakim. Hasan menurut Tirmidzi dan shahih menurut Hakim.”
v  Tetapi pendapat jumhur, ditentang oleh Abu Hanifah. Abu Hanifah menyatakan bahwa witir itu wajib dan diriwayatkan dari dia juga bahwa witir itu fardlu.
Abu Hanifah membedakan antara wajib dengan fardlu.
a.       Wajib   : suatu ketetapan berdasarkan dalil yang masih ada kesamarannya, seperti qiyas
b.      Fardlu  : suatu ketetapan berdasarkan dalil qath’i (pasti) sehingga siapa yang menentang dianggap kufur.
Dasar dari pendapat Abu Hanifah adalah:
َوَعَنْ أَبِي أَيُّوبَ اَلْأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( اَلْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ , مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ , وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثٍ فَلْيَفْعَلْ , وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ )  رَوَاهُ اَلْأَرْبَعَةُ إِلَّا اَلتِّرْمِذِيَّ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ , وَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ وَقْفَهُ
v  Ibnu Mundzir berkata: Aku tidak mengetahui seorang pun ulama yang setuju dengan pendapat Abu Hanifah. Karena itu Mushannif membawakan hadits dari Ibnu Umar bahwa nabi pernah witir di atas ontanya. Dengan dasar itulah, tidak diwajibkan atas sholat witir.[2]
Berdasarkan pendekatan kaidah fiqih, dapat diperoleh kesimpulan bahwa semua jumhur ulama menyatakan bahwa sholat witir bukanlah sholat wajib melainkan sunnat kecuali Abu Hanifah yang menyatakan bahwa sholat witir itu suatu kewajiban.
2.      Konfirmasi dengan hadits yang lebih tinggi
اِنَّ الله زَادَكُمْ صَلاَةً ٬ وَهِيَ الْوِتْرُ ٬ فَصَلُّوهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ اِلَى صَلاَة الْفَجْر
      “Sesungguhnya Allah menambah sholat padamu yaitu witir, maka kerjakan ia di antara sholat isya’ hingga fajar.”
      Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, dari dua jalur: Yaitu, Dari Ibn al-Mubarak, “ Ibn al-Mubarak, Sa’id ibn Yazid, Ibn Hubairah bercerita dari Abi Tamim al-Jaisyani, bahwa Amr ibn ash berkhutbah di hadapan jama’ah pada hari jum’ah, dia menuturkan: “Sesungguhnya Abu Bashrah bercerita kepadaku bahwa Nabi saw bersabda:  “Sesungguhnya Allah menambah sholat padamu yaitu witir, maka kerjakan ia diantara sholat isya’ hingga fajar”. Abu Tamim mengatakan: Abu Dzar menggamit tanganku lalu naik di masjid menuju Abu Bashrah dan bertanya kepadanya: “ Apakah kamu mendengar Rasulullah saw menyabdakan apa yang dikatakan Amr?” Abu Bashrah menjawab: “Aku memang mendengarnya dari Rasulullah saw”.
      Ibn al-Mubarak berkata bahwa hadits tersebut sanadnya sahih. Semua perawinya adalah tsiqah yang juga dipakai oleh Imam Muslim. Adapun Sa’id ibn Yazid adalah Abu Sujak al-Iskandari.
      Hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam Ahmad (juz 6/379), ath-Thahawi dalam Syarh al-Ma’ani (1/250), ath-Thabrani dalam al-Kabir (1/104/2) dan ad-daulabi dalam al-Kuna (1/13) dari tiga jalur yang berasal dari Ibn Luhai’ah bih.
      Menurut ath-Thahawi, sanad hadits itu adalah sahih, seperti yang dikeluarkannya di sana. Adapun jalur ini adalah yang terkuat. Syaikh al-Kuttani dan temannya Ustadz az-Zuhaili, dalam kitab tahkrij-nya Tuhfatu al-Fuqaha’ (1/1/355) menyebutkan sejumlah besar jalur-jalur itu berasal dari sepulu sahabat.[3]
Hukum-hukum yang terkandung dalam Hadits
      Melihat dari segi lahirnya perintah dalam sabda Nabi saw: “kerjakan sholat itu, adalah menunjukkan kewajiban sholat witir. Demikian pendapat al-Muhammad, berbeda dengan pendapat jumhur. Kalau saja tidak ada dalil yang membatasi bahwa shalat fardhu dalam sehari semalam adalah lima kali, tentu pendapat Muhammad itu lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu jelas bahwa perintah di sini bukan bukanlah menunjukkan wajib. Tetapi hanya untuh mengukuhkan sunnah. Banyak perintah untuk sesuatu yang mulia dengan kepastian dalil-dalil qath’i. sehingga dengan melihat itu diletakkan sedikit di bawah perintah wajib.
      Perlu diketahui bahwa pendapat ulama Muhammad itu didasarkan pada istilah yang mereka sebut dengan dalil khusus, yang tidak dikenal oleh para sahabat maupun salafu ash-shalih, yakni mereka membedakan antara sholat fardlu dan wajib baik dalam segi ketetapan maupun balasan, seperti yang telah diterangkan secara terperinci dalam kitab-kitab mereka.
      Pendapat mereka itu seolah bermakna bahwa orang yang meninggalkan witir, pada hari kiamat juga akan disiksa di bawah siksaan orang yang meninggalkan sholat fardlu. Jika demikian maka ditanyakan kepada mereka, “Bagaimana bisa begitu, padahal Nabi saw mengatakan terhadap orang yang berniat tidak akan mengerjakan? Dan bagaimana bisa dikompronikan antara keberuntungan dengan siksa? Maka tidak diragukan lagi bahwa sabda Nabi saw itu sendiri telah cukup untuk menjelaskan bahwa sholat witir itu memang tidak wajib. Dan inilah yang benar, hanya saja semua itu sebagai peringatan supaya memperhatikan shlat witir dan tidak meremehkannya karena hadits ini dan lainnya.[4]



[1] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 67.
[2] Mu’ammal Hamidy, Imron, Umar Fanany, Terjemahan Nailul Author, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), 677-679.
[3] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah Hadits Shahih, (Jakarta: Qisthi Press, 2005), 227-228.
[4] Ibid, 229.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar