Jumat, 29 April 2011

Ringkasan buku, "Hati Menjadi Tenang dengan Mengingat Allah", karya Wawan Susetya


Dalam buku yang berjudul Hati Menjadi Tentram Dengan Mengingat Allah ini Penulis menggambarkan bahwa sesungguhnya keadaan hati manusia secara azalinya bersifat fitrah, suci dan hanief (memilik kecenderungan lurus dan tidak bengkok). Tapi karena adanya pengaruh harta, tahta dan wanita maka keadaa hati yang semula fitrah akhirnya menjadi buram dan kotor. Ia akan menjadi lupa asal mulanya. Dan akhirnya hati menjadi berkarat. Di dalam Al-Qur’an surat Ar-Ra’du ayat 28 : “Yaitu orang-orang yang beriman dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. Hati menjadi tentram berkenaan dengan tasawuf : Penjaga hati,pencerah jiwa.
Secara umum, Tasawuf memiliki tiga tujuan, yaitu:
  1. Berkeinginan untuk tidak mempunyai keinginan itu sendiri. Aliran ini tokohnya adalah Syeikh Imam Syadzili
  2. Ingin menjadi hamba Allah yang taat kepada Allah SWT. Aliran ini tokohnya adalah Syeikh Imam Al-Ghazali dan imam Al-Junaidi.
  3. Pantheisme, Yaitu memandang kesatuan wajah Allah dalam tajalli-Nya ketika melihat alam semesta. Aliran ini tokohnya Ibn rabi dan Al-Hallaj.
Tiga tingkatan dalam perspektif Tasawuf.
  1. Ilmul Yaqin : keyakinan yang timbul setelah adanya beberapa keterangan atau dalil
  2. Ainul Yaqin : keyakinan berdasarkan kenyataan.
  3. Haqqul Yaqin : Keyakinan yang sebnarnya. Musyahadah (mengenang dan mengingat Allah) secara nyata dan meyakinkan, tanpa dalil dan pembuktian.
Cakrawala pijakan Tasawuf yakni :
  1. Wacana tentang Islam-Iman-Ihsan.
Di dalam agama Islam jika dirinci secara detail akan tergambar tiga wacana besar yaitu Islam, Iman, Ihsan.
Islam tergambar dengan rukun Islam yakni lima rukun; Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan Haji bagi orang yang mampu. Sedangkan Iman tergambar dengan rukun Iman yakni Iman kepada Allah, malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, Hari kiamat dan Takdir Allah. Fase berikutnya adalah Ihsan yaitu menyembah kepada Allah seolah-olah kamu melihatnya, maka jika kamu tidak dapat melihat Allah maka yakinlah bahwa Allah selalu mengawasi. (H.R. Imam Bukhari).
Dengan hujjah hadits Nabi tersebut, Ihsan identik dengan cara memandang Allah SWT dengan mata hati.
Sementara menurut Ari Ginanjar dalam bukunya “Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power” menjelaskan mengena dimensi manusia atas tiga hal, yakni dimensi fisik atau body, dimensi emosional dan dimensi piritual.
Dimensi-dimensi tersebut akan dikontekstualkan ke dalam dimensi Agama Islam, yakni Islam, Iman, dan Ihsan. Menurut Ary, Ihsan identik dengan dimensi spiritual yang berarti “Berbuat atau menegakkan sesuatu dengan kualitas terbaik” Dengan demikian hal tersebut merupakan cermin dan citra diri yang positif.
  1. Muraqabah
Muraqabah adalah pengawasan kepada dirinya secara konsisten. Syekh Abul Qasim Abdul Karim Hawazin dalam kitabnya “Risalah Qusyairiyah” menjelaskan bahwa muraqabah adalah ilmu hamba untuk melihat allah SWT. Sedangkan yang konsisten terhadap ilmu adalah yang mengawasi (menjaga dan merasa dirinya selalu diawasi oleh Allah).
Dalam buku “Cermin Hati” (wawan Susetya;2006) dijelaskan bahwa praktik Muraqabah, yakni adanya kesadaran focus bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap perbuatan. Tentu bagi orang-orang yang memiliki iman di hati akan berpengaruh positif. Ia akan mengerjakan kebaikan dan ketaatan, baik ketika bersama orang banyak ataupun ketika sendiri. Apalagi Allah dalam Al-Qur’an telah menyatakan bahwa Ia akan memperhitungkan amal walaupun seberat biji sawi pun (zarrah). Orang yang demikian, biasanya akan senantiasa mengamati dan memperhatikan gerak hatinya terus menerus, sebab dia telah menyadari bahwa hati merupakan pusat atau poros dari segala atribut dan anggota badan yang bersifat jasmaniyah dan ruhaniyah. Maka jika hatinya bersih, seluruh atribut yang disandangnya akan menjadi baik, begitu juga sebaliknya.
  1. Musyahadah
Musyahadah adalah kesadaran si hamba yang senantiasa terus mengenang atau melihat Allah di dalam hatinya.
Al-Hujwiri dalam bukunya Kasyful Malijub,1993 menjelaskan mengenai ajaran yang sangat terkenal dari abul Sari Mansyur bin Ammar bahwa semua manusia bisa diringkas ke dalam dua ciri khas, yakni:
    1. Manusia yang mengenal dirinya dan urusannya adalah peniadaan nafsu diri dan disiplin. Sehingga tindakan kesehariannya selalu menjaankan ibadah dengan disiplin yang ketat (Riyadah)
    2. Manusia yang mengenal tuhannya yang kesibukannya adalah mengabdi, menyembah dan mencari keridhaan-Nya, sehingga dalam kesehariannya ia senantiasa menjalankan ibadah dengan kedaulatan (Riyasat)
Dalam buku “Kisah Para Sufi” (Wawan Susetya;2006) dijelaskan mengenai pergulatan yang dilakukan oleh seorang tokoh sufi terkenal, Ibrahim bin Ad-ham. Pada masa awal pengembaraan spiritualnya yang tidak terlepas dari empat hal sebagai proses pengisian diri, yakni:
1.      Menghadapi rasa lapar perutnya
2.      Lebih banyak diam dan tidak mengumbar kata-kata
3.      Siap menahan rasa kantuk setiap malamnya karena kesibukan mengerjakan Shalat Tahajud
4.      Merelakan berada di tempat yang sunyi-senyap untuk berdialog dengan sang Kekasih.
Amalan atau hasil musyahadah tersebut, dalam perspektif spiritual, tergolong amalan nuraniyah.
Dan karena musyahadah merupakan sambungan kontak langsung dengan allah, maka tak jarang seorang hamba yang sudah makrifat, sering kali ia mendapatkan limpahan ilham atau jawaban langsung dari allah SWT.
Sebagaimana yang dikatakan Ahmad Al-Jariri bahwa untuk mencapai musyahadah, maka harus melalui tahapan terlebih dahulu. “Barangsiapa yang tidak memperkuat takwa dan pengawasan antara dirinya dan Allah(Muraqabah), maka dia tidak akan sampai pada mukasyafah (terbukanya tabir rahasia) dan Musyahadah (persaksian dengan-Nya)
Metoda Taqarrub Ilallah.
Dalam kehidupan masyarakat banyak cara pandang untuk mendekatkan diri kepada allah (Taqarrub ilallah). Tentu ini masih dalam koridor Ihsan, yakni cara memandang Allah dengan mata hati. Tujuannya sama yakni mengenal Allah (makrifat) atau mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah). Sedangkan pelaku dari dunia spiritual disebut salik (pejalan menuju allah)
Adapun Wadah atau cara yang ditempuh orang bias melalui cara atau jalan, antara lain melalui Tasawuf, Thoriqah, Wihdatul Wujud, Cara umum (Takholi-Tahalli-Tajalli), Wuquf Qalb (Tenangnya hati atau pengendalian nafsu) dengan asmaul Husna dan sebagainya.

A. Tasawuf
            Tasawuf adalah amalan yang lebih menekankan pada aplikasi riyadhah (mujahada) atau pengendalian diri secara ketat dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan pelakunya disebut sufi, sebagaimana yang terjadi pada zaman sufi dulu, yakni pasca sahabat Nabi dan Tabi’in-Tabi’t. Substansi dari tasawuf adalah pembersihan hati, sehinggan hatinya menjadi bersih serta dekat dengan Allah, maka si hamba (salik) bias mewujudkan salah satu tujuan utama dalam tasawuf, yakni menjadi hamba allah yang taat kepada Allah SWT. Tokoh pengikut Tasawuf adalah Imam Al-Ghazali, Dzun Nun al-Iishri, Imam al-Junaid dan seterusnya.
Dalam ajaran Tasawuf dikenal ajaran uzlah (bertapa) yang mengasingkan diri dari keramaian (khalwat). Menurut rasulullah, orang-orang yang bertapa itulah yang akan masuk surga pada urutan yang pertama, sebab hati mereka akan senantiasa khusu’ untuk mengingat (dzikir) kepada Allah.
            Sejak umur 30 tahunan atau sebelum diangkat menjadi Rasul Allah, Muhammad ketika menyaksikan kebobrokan moral masyarakat kota Makkah, maka sering melakukan tahanuts (perenungan;kontemplasi) di gua Hira’ hingga beruur 40 tahun saat menerima wahyu pertama kali. Meski demikian, Muhammad tidak melakukan tahanuts secara terus-menerus, terkadang keluar dan bergaul bengan masyarakat. Dalam konteks ini, Muhammad memang ahli dalam me-manage antara ke dalam atau keluar atau ketika melakukan perenungan (wuquf qalbi) dengan sedang bergaul dengan lingkungan masyarakat (keluar) secara seimbang. Yang penting, ketika berkontemplasi itulah, ia senantiasa merenungkan tentang hidup dan kehidupan ini; juga sebagai wahana untuk instropeksi diri.
B. Thariqah
            Ada ciri khusus yang selalu dibaca oleh seorang salik yang sedang melakukan suluk-wirid (mengamalkan suatu amalan) yakni, membaca “Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntum minadh-dholimin” artinya “Tidak ada tuhan selain Allah, Maha suci Allah, dan saya ini termasuk orang-orang yang dholim.”
Asal mula doa yang dinukilkan di dalam al-Qur’an tersebut, yakni sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Yunus a.s ketika dimakan hiu besar.
Sebuah pengakuan kedholiman yang jujur dari nabi yunus kepada Allah tersebut, akhirnya diterapkan sebagai wirid amalan dalam Thariqah.
Di dunia ini nama-nama thoriqah sudah banyak yang dikenal, misalnya Thariqah Nafsabandiyah, Syadziliyah, Satoriyah, Shiddiqiyah, Tijaniyah, Qodiriyah, Qodiriyah wan Nafsabandiyah, dan sebagainya. Jumlah aliran thariqah di dunia tentu sangat banyak, tetapi yang terkenal sekitar 55 aliran.
Meski berlainan cara melakukannya, teapi secara umum tujuan dari semua aliran thariqah tersebut memiliki tujuan yang sama yakni, sampai kepada Allah SWT atau ber-makrifat kepada Allah.
Dasar, hujjah atau landasan yang sudah umum di dalam Thariqah, yakni di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
1.                          Surat Al-Maidah ayat 35 : “hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan
2.                          Surat Al-Ankabut ayat 69 : “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tinjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.”
3.                          Surat Al-Ahzab ayat 41-42 : “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan cara menyebut nama Allah), dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”
4.                          Surat Al-Kahfi ayat 17 : “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, merekalah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun(mursyid atau syech) yang dapat memberi petunjk kepadanya.”
Ketika seseorang memasuki Thariqah, maka dia akan dibimbing oleh sang guru; namanya Mursyid (Syech), bimbingan seorang guru tersebut sangat penting, seba dia bisa mengarahkan kepada muridnya (salik) dalam melakukan ibadah-ibadah ritual.
Biasanya, aplikasi dari ritual Thariqah dalam bentuk amalan atau membaca wirid, seorang pejalan juga memperdalam (menggabungkan) dengan laku tasawuf. Sebab, Tasawuf juga bertujuan sama; yakni membersihkan hati untuk mengingat Allah.
C. Wihdatul Wujud
            Ajaran Wihdatul Wujud (Pantheisme, Persatuan, Kesatuan Wujud) sebenarnya termasuk bagian dari amalan Tasawuf. Hanya saja model Tasawuf berbeda yakni bertujuan “Wihdatul Wujud”
            Pengikut aliran ini, antara lain Ibn Arabi, Al-Hallaj, Syech Siti Jenar, dan sebagainya. Meski demikian, pandangan mereka dikritik habis oleh Ibnu Taimiyah, seorang tokoh Islam terkenal. Menurut Taimiyah, wahdat Al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan Alam. Bahkan, orang-orang yang mempunyai paham wahdat Al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh Khaliq adalah juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluq.
Dari pengertian tersebut, Ibnu Taimiyah menilai bahwa ajaran sentral Ibnu Arabi itu adalah aspek Tasybih-Nya (Penyerupaan Khliq dengan makhluq) saja.
Meskipun demikian, Ibn Arabi menggunakan kata ‘wujud’ untuk selain Tuhan; yakni wujud yang dipinjamkan-Nya kepada selain Tuhan. Misalnya, Ibn Arabi memberikan contoh bahwa cahaya adalah milik matahari, namun cahaya itu dipinjakan kepada para penghuni bumi.
Dari konsep wahdat Al-wujud Ibn Arabi ini muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep wahdat-Al-wujud yakni, konsep Al-hakikat Al-Muhammadiyah dan konsep wahdat Al-adyan (kesamaan Agama)
Menurut Ibn Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun prosesnay adalah :
1.      Tajalli Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah
2.       Tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’ani ke alam ta’ayyunat (realitas-realitas rohaniya) yaitu alam arwah yang mujarrad
3.      Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiyah berfikir
4.      Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal(ide) atau khayal
5.      Alam materi, yaitu alam inderawi
Konsep Ibn Arabi kemudian dikembangkan oleh Fadhullah burhanpuri dalam kitab at-tuhfah al-Mursalah ila ruh an-Nabi yang menjelaskan proses penampakan ke dalam tujuh tingkatan atau dikenal ‘Martabat Tujuh’, yakni meliputi :
1.      Martabat Ahadiyah
2.      Martabat al-Wahdah
3.      Martabat Al-Wahidiyah
4.      Martabat ‘alam al-Arwah
5.      Martabat ‘alam al-Ajsam
6.      Martabat al-Insan
D. Cara umum (Takholli-Tahalli-Tajalli)
            Cara umum yang dapat ditempuh oleh salik (pejalan menuju Allah) hingga mampu mengantarkan pelakunya sampai kepada Allah, Yakni ada tiga fase ; takholli, tahalli dan tajalli.
1.      Takholli, yakni mengosongkan sifat-sifat buruk dan penyakit hati yang bersarang di dalam dada manusia.Amalan dalam takholli, dengan demikian, mengenyahkan atau membuang jauh-jauh penyakit hati dan sifat buruk yang ada dalam manusia.
2.      Tahalli, yakni menghiasi dengan sifat-sifat baik (seperti sifat-sifat Allah) dalam hatinya dan di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ini merupakan kebalikan dari Takholli.
3.      Tajalli, yakni penampakan keagungan Allah dalam diri manusia. Hal tersebut ada dua macam, yaitu:
1.      Terjadinya seperti ilham di dalam jiwa, yaitu bisikan hati
2.      Jenis ilham, yaitu bila disingkap baginya hakikat-hakikat dari segala sesuatu dan ditunjukkan malaikat yang ditugaskan untuk itu dari siapa yang mendapat faedah
E. Wuquf Qalb (Tenangnya hati; Pengendalia Hawa Nafsu)
            Praktik amalan wuquf Qalb dapat dilakukan dengan pengendalian tujuh nafsu manusia, yakni :
  1. Nafsu amarah, nafsu yang mengajak pada kejahatan. Cara dikendalikan dngan sedikit demi sedikit dan dapat dilakukan secara istiqamah dan pengendalian yang ketat, maka lama kelamaan bias menjadi fitrah kembali.
  2. Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang mencela orang lain atau diri sendiri, menyesal dan sebagainya. Pada dasarnya nafsu ini sudah bagus sehingga ia begitu mudah sensitive melihat kesalahan orang lain. Ia lupa bahwa dirinya sendiri sebelumnya juga melakukan kesalahan sebagaimana yang dilakukan orang lain.
  3. Nafsu mulhimah, yakni ilham dari malaikat yang mengajak berbuat kebajikan yang menjatangkan pahala.
  4. Nafsu muthmainnah, yakni jiwa yang tenang dan tentram. Nafsu ini tergolong mulia, karena ia menjalankan tugasnya sebagai Abdullah dan khilafah yang sempurna.
  5. Nafsu Rodiyah, yakni hati menjadi puas atau ridho atas semua yang menimpa pada dirinya.
  6. Nafsu mardiyah, yakni diridhai atau mendapat ridha Allah. Ini merupakan umpan-balik dari nafsu Rodhiyah.
  7. Nafsu kamilah, yakni manusia yang sempurna atau paripurna. Inilah puncak nafsu manusia yang sangat baik. Dan inilah gambaran hati Rasulullah.
Dari nafsu keempat sampai ketujuh itulah yang nantinya dimasukkan ke surga oleh Allah.
F. Dengan Asmaul-Husna
            Para pakar tafsir al-Qur’an, M. Quraisy Shihab dalam bukunya “menyingkap Tabir Ilahi” mengutip pandangan Imam Al-Ghazali dari buku Almaqshad Al-Asnaa Fii Syarh Asma ‘ilaahil Husna, yakni :”Siapa yang mendengar nama-nama Allah, memahami dari segi bahasa tafsiran dan sifatnya serta meyakini bahwa makna tersebut wujud di sisi Allah, maka sebenarnya dia baru mendapat bagian yang sedikit dan masih rendah tingkatannya. Tidak wajar baginya berbangga dengan apa yang dimilikinya.”
            Meski masih tegolong rendah tingkatannya, namun orang yang biasa membaca Asmaul husna dengan menghayati dan meneladaninya, maka lambat laun mereka akan mencapai pengenalan kepada Allah juga.
            Sementara itu ulama Shalaf membagi tingkatan makrifat menjadi tiga yaitu :
  1. Makrifat dengan Allah
  2. Makrifat dengan Dalil
  3. Makrifat orang awam (ikut-ikutan)

Perspektif Maqam Tujuh

Abu Nashar Saraj-salah seorang tokoh sufi terkenal mengeluarkan konsepnya mengenai “Maqam Tujuh” yaitu: Tobat, wara’, zuhud, sabar, tawakal, dan Ridha.

1.      Tobat, yakni menebus dosa dan kesalahan.
Menurut Syaifur Rahman, guru spiritual Bondowoso, tobat memiliki tujuh tingkatan, yakni :
1.      Tobat dari dosa besar,misalnya meninggalkan sholat
2.      Tobat dari dosa kecil, misalnya ghibah
3.      Tobat dari dosa ‘makruh’, misalnya merokok
4.       Tobat dari dosa mubah, misalnya berbicara dengan orang lain
5.      Tobat dari merasa tobat
6.      Tobat dari lepas keutamaan, misalnya kehilangan shalat tahajud
7.      Tobat dari lupa musyahadah
2.      Wara’, yakni : Ekspresi kehati-hatian seorang Mukmin Sejati.
Dalam Kitab Minhajul Abidin, Imam Ghazali menjelaskan tanda-tanda wara’ yakni:
1.      Menjauhkan diri dari ghibah
2.      Menjauhkan diri dari syu’udhan
3.      Menjauhkan diri dari menghina
4.      Memejamkan mdari pandangan yang haram
5.      Jujur lisan
6.      Bertaqwa
7.      Membelanjakan harta di jalan Allah
8.      Tidak mempunyai ambisi kedudukan
3.      Zuhud, mengosongkan Hati dan keduniaan
Dalam Ihya’ Ulumuddin, tingkatan zuhud ada tiga, yakni :
1.      memaksakan zuhud terhadap dunia dan memerangi hawa nafsu
2.      bersikap zuhud terhadap dunia dengan sukarela
3.      Zuhud yang tertinggi yaitu bila seseorang bersikap zuhud dengan sukarela dan tidak merasakan zuhudnya, karena ia tidak menganggap bahwa meninggalkan sesuatu karena tahu bahwa dunia bukan apa-apa.
4.      Faqir, yakni kesadaran merasa butuh kepada Allah.
Imam Al-ghazali memilah- milah keadaan orang faqir menjadi lima kelompok, yakni :
1.      Seorang yang tidak menyukai harta dan menghindarinya
2.      Orang yang tidak menghindari dan tidak mengharapkanya, tetapi bila ada tidak dibencinya
3.      Apabila adanya harta lebih disukainya daripada ketiadaannya jika datang dengan sukarela, tetapi ia tidak berupaya mencarinya
4.      Bila ia menginginkan harta dan mengharapkannya, tetapi ia tidak berusaha mencarinya karena tidak mampu.
5.      Harta yang tidak ada padanya itu harus dipunyai, seperti orang lapar yang tidak punya roti.
5.      Sabar, yakni menahan gejolak nafsu.
Imam Al-Ghazali menjelaskan hakikat kesabaran terdiri dari tiga hal, yakni :
1.      Kesabaran dari mendapatkan pengetahuan
2.      Kesabaran dari keadaan, yang diibaratkan seperti ranting-ranting
3.      Kesabaran dari amal
Aplikasi sabar menurut imam Al-ghazali :
1.      Sabar dalam menghadapi musibah
2.      Sabar dalam menolak maksiat
3.      Sabar untuk taat kepada Allah
6.      Taqwa, yakni menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan Allah.
Tiga derajat Tawawal menurut Imam Al-Ghazali adalah :
1.      Keyakinan kepada Allah
2.      Keadaan-nya terhadap Allah
3.      Pucatnya orang sakit, yang bias terus berlangsung dan terkadang lenyap.
Dari isi dalam buku “Hati Menjadi Tentram Dengan Mengingat Allah” dapat disimpulkan bahwa banyak kelebihan dari bukunya, yakni : buku ini memberikan jalan dan cara pembersihan hati untuk mendekatkan diri kepada Allah, sehingga mendapatkan ketentraman hati yang sesungguhnya. Sebagaimana yang dinyatakan Allah di dalam al-Qur’an, maka beruntunglah orang-orang yang menyucikan (membersihkan) hatinya.

1 komentar: