Jumat, 29 April 2011

PERKEMBANGAN ILMU KALAM

  1. Ilmu Kalam Dalam Konteks Pemikiran Islam
Ilmu Kalam termasuk salah satu cabang ilmu keislaman yang muncul semenjak masa yang terbilang awal. Dalam konteks pemikiran islam, ilmu kalam termasuk bagian dari proses pengalaman Islam yang mengalir dalam bangunan peradaban Islam pada umumnya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari pemikiran islam, ilmu kalam tidak dapat dipisahkan dari proses sejarah peradaban islam. Ilmu kalam menjadi suatu rangkaian kesatuan sejarah, dan telah ada di masa lampau, masa sekarang dan akan tetap ada di masa yang akan dating. Akan tetapi, setiap langkah menuju pemikiran kalam selanjutnya, diperlukan penguraian dan analisis yang mendalam dalam hubungannya dengan entitas pandangan dunia islam.
            Dalam pemetaan pemikiran islam, karena tidak lepas dari perkembangan sejarah Islam, maka Harun Nasution membagi kedalam tiga periode besar:[1]
1.      Periode Klasik (650-1250) merupakan zaman kemajuan yang dibagi ke dalam dua fase: fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M). Zaman inilah yang menghasilkan ulama-ulama besar seperti: Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ibn Hambal.
2.      Periode pertengahan (1250-1800 M), juga dibagi menjadi dua fase : Fase kemunduran (1250-1500 M). Pada fase ini desentralisasi dan disintegrasi semakin meningkat.Yang kedua fase Tiga kerajaan besar (1500-1800 M), yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M). Tiga kerajaan itu adalah Kerajaan Utsmani di turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India.
3.      Periode Modern (1800 M-seterusnya), merupakan zaman kebangkitan umat Islam.

Sumber Pemikiran Kalam

Pemikiran Islam adalah suatu upaya ijtihadi seseorang atau sekelompok orang untuk menerjemahkan nilai-nilai universalitas Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan situasi zamannya.
  1. Pengertian dan Asal-Usul Ilmu Kalam
Secara Harfiyah, kalam berarti pembicaraan atau perkataan.[2] Di dalam lapangan pemikiran Islam, istilah kalam memiliki dua pengertian : pertama, Sabda Allah, dan kedua ‘Ilm al-kalam.[3] Pengertian yang kedua ini lebih menunjukkan kepada teologi dogmatic dalam Islam, dan sekaligus merupakan inti pembahasan dalam tulisan sekarang ini.
Perkataan “kalam” sebenarnya merupakan suatu istilah yang sudah tidak asing lagi, khususnya bagi kaum muslimin. Secara harfiyah, perkataan kalam dapat ditemukan baik dalam Al-Qur’an maupum berbagai sumber lain.
Misalnya : dalam kitab Jurmiyah,[4] yang artinya “Kata-kata yang tersusun dengan sengaja untuk menunjukkan suatu maksud atau pengertian.”
Dalam Al-Qur’an, yakni :
1.      An-Nisa ayat 164, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung”
2.      Al-Baqarah ayat 75, “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar kalam Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.”
3.      At-taubah ayat 6, “Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah. Kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”
Sebutan itu (kalam), juga dipertegas oleh Nurcholis Majid, yang mengutip Ali Asy-Syabi bahwa antara istilah mantiq dan kalam secara histories ada hubungan. Keduanya memiliki kesamaan, lalu para Mutakalimin dan filsof mengganti istilah mantiq dengan kalam, karena keduanya memiliki makna yang sama.
Dari pengertian tersebut diperoleh gambaran bahwa ilmu kalam tiada lain adalah perdebatan teologis di antara umat Islam yang didasarkan atyas argumen logis-rasional, terutama dalam kalam ilahi yang dihubungkan dengan persoalan manusia seperti baik dan buruk, kebebasan berkehendak.
  Dengan mengutip Asyahrastani, Ali Asy-Syahbi mengatakan bahwa istilah kalam mula-mula muncul pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun (813-833 M) dari daulah Abbasiyah dan diciptakan oleh kaum Mu’tazilah., Alasan utama penggunaan istilah kalam ini, boleh jadi karena masalah yang menonjol mereka perdebatkan yaitu tentang bicara sebagai salah satu sifat tuhan.[5]
Sering kali ilmu kalam dihubungkan dengan ilmu tauhid. Berkenaan dengan ini, Al-Ghazali berpendapat bahwa keduanya tidak identik. Sekalipun secara substansial atau materi yang dibicarakannya adalah sama, tetapi dalam metode berbeda. Karena adanya pergesaran metode ini, nama ilmu kalam menjadi lebih popular. Metode ilmu kalam yang dimaksud, sebagaimana telah dikemikakan di atas adalah metode nasional yang di ambil dari logika filsafat. Atau menurut istilah Fazlur Rahman, metode yang dikembangkan Mutakallimin yaitu teologi dialektis.[6]
Berdasarkan asal-usul dan pengertian ilmu kalam sebagaiman yang tersebut di atas, dapat disimpulkan:
1.      Masalah perselisihan yang paling diperdebatkan antar golongan islam adalah masalah-masalah teologis, terutama menyangkut firman Allah
2.      Dasar ilmu kalam adalah dalil-dalil aqli sebagaimana yang tampak pada pembicaraan mutakallimin.
3.      Pembuktian tentang keyakinan-keyakinan agama menyerupai logika dalam filsafat. Oleh karena itu, penamaan ilmu kalam adalah untuk membedakan dengan logika dalam filsafat.

Nama Lain Ilmu Kalam

            Para Ahli sering menggunakan ilmu kalam dengan istilah teologi islam. Istilah ini berasal dari sebutan orang-orang Barat untuk menyebut istrilah ilmu kalm dan perbedaannya dengan filsafat islam.
            Teologi berasal dari Yunani, yakni “theos” artinya Tuhan, dan “logos” artinya ilmu. Dengan demikian, teologi berarti ilmu tentang tuhanatau ilmu ketuhanan.
            Sementara itu, Dr. Harun Nasution dalam memberikan pengertian tentang ilmu kalam lebih menitikkan kepada aspek materi pembahasannya yang menyamakan ilmu kalam dengan teologi islam. Dasar pemikirannya adalah:
1.      Kalam adalah Sabda tuhan, maka teologi dalam islam disebut ilmu kalam, karena soal kalam pernah menimbulkan pertentangan keras di kalangan umat Islam.
2.      Kalam adalah kata-kata manusia, maka teologi islam disebut juga ilmu kalam karena teologi ‘bersilat’ dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.
Berdasarkan penjelasan di atas, baik ilmu kalam maupun teologi islam adalah sama, baik secara metodologis maupun materi yang dibahasnya. Pada intinya, ilmu kalam maupun teologi membahas tentang:
1.      Kepercayaan tentang tuhan dengan segala seginya, seperti : tentang wujud keesaan, dan sifat-sifat Allah
2.      Pertalian dengan alam semesta, yang berarti termasuk di dalamnya persoalan terjadinya alam, leadilan dan kebijaksanaan tuhan, pengutusan rasul-rasul yang meliputi soal-soal penerimaan wahyu dan berita.
Demikian juga halnya ilmu ushuluddin atau tauhid, terutama kalau dilihat dari aspek yang menjadi objek pembahasannya. Kesamaan ini dapat dilihat dari:
1.      Adakalanya masalah yang paling masyhur dan banyak menimbulakan perbedaan pendapat di antara para ulama pada kurun waktu pertama, yaitu kalam Allah yang dibacakan itu baru atau qadim
2.      Adakalanya ilmu tauhid dibina oleh dalil-dalil akal
3.      Dalam memberikan dalil-dalil tentang beberapa pokok agama, ia menyerupai logika dalam filsafat.

Wilayah Kajian

            Berdasarkan pengertian ilmu kalam. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, yang menjadi inti kajian dan ruang lingkup yang dibahas oleh para mutakallimin, sebenarnya lebih menekankan kepada masalah-masalah perdebatan teologis, yakni lontaran-lontaran argumebntasi kaum muslimin untuk membenarkan dan memperkuat sikap teologisnya.
            Berkaitan dengan masalah aqidah tersebut, Muzaffarudin Nadvi melihat kepada empat masalah pokok yang menjadi objek kajian penting di dalam pemikiran islam, khususnya ilmu kalam:
1.      Masalah kebebasan berkehendak
2.      Masalah sifat Allah
3.      Batasan iman dan perbuatan
4.      Perselisihan antara akal dan wahyu.
  1. Sumber dan Faktor Lahirnya Ilmu Kalam
1.      Faktor Internal
Faktor internal yang mengundang berbeda pendapat dan senantiasa mengajak umat untuk berfikir. Kata-kata yang dipakai dalam alqur’an untuk menggambarkan perbuatan berfikir ini, misalnya, bukan hanya ‘aqala’, tetapi juga menggunakan beberapa kata yang menunjukkan kepada pengertian dan tuntutan yang sama.
      Harun Nasution memberikan beberapa contoh dari rincian ayat-ayat yang menganjurkan manusia untuk menggunakan akal:
a.       Nazara, melihat abstrak dalam arti berfikir dan merenungkan
b.      Tadabbara,  dalam arti merenungkan
c.       Tafakkara, arti berfikir.
d.      Fakiha yang berarti mngerti atau faham
e.       Tazakkara, mengingat, memperlihatkan
f.       Fahima, memahami dalam bentuk “fahama”
2.  Faktor eksternal
            Faktor eksternal berupa paham-paham keagamaan non islam tertentu yang memengaryhi dan ikut mewarnai sebagian paham di lingkungan umat islam.
            Faktor eksternal lainnyan adalah filsafat Yunani. Filsafat Yunani diperkenalkan kepada kaum mutakallimin melalui Persia yang secara kebetulan wilayah ini masih dipengaruhi oleh filsafat.
            Mu’tazilah merupakan pendiri ilmu kalam yang sebenarnya dalam islam.[7] Dalam bentuk apologetik, sebagai pembela diri terhadap agama dan kepercayaan non-Islam, maupun terhadap kalangan umat Islam sendiri yang tidak sepaham dengan mereka.
  1. Posisi Akal dan Wahyu
Dalam Konteks linguitik, wahyu memiliki dua asoek pengertian yang berbeda, tetapi sama-sama penting. Salah satu aspek tersebut adalah menyangkut konsep[ firman . Menurut pengertian teknis yang sempit, istilah firman dapat dibedakan dengan bahasa. Sedangkan aspek lainnya berkaitan dengan fakta bahwa dari semuia bahasa cultural yang ada pada saat itu, bahasa Arab sengaja dipilih oleh Tuhan, bukan secara sarana untuk berfirman.Kalam dan lisan dalam bahasa arab, kira-kira sama dengan bahasa langue dan paroe dalam bahasa perancis.
Dengan demikian, wahyu menurut konsepsi Al-Qur’an merupakan parole Tuhan, wahyu sama dengan firman Allah.
Sedangkan di dalam bahasa Arab akal diartikan kecerdasan, lawan dari kebodohan, dan diartikan pula dengan hati, suatu kekuatan yang membedakan manusia dengan semua jenis hewan.
            Akal dan Wahyu dalam Pemikiran Mutakallimin
            Harun Nasution, mengikuti kalam Muhammad Abduh, bahwa ada dua fungsi pokok dalam wahyu, yaitu:
1.      Memberi keyakinan akan adanya hidup sesudah mati
2.      Wahyu akan menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, dan syariatnya yang akan membimbing manusia tentang moral yang benar.
  1. Pemikiran Kalam Klasik
1.      Aliran Khawarij
Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti ‘keluar’, ditujukan bagi setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin maupun masa tabi’in secara baik-baik
2.      Aliran Mu’tazilah
Mu`tazilah sebagai aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri, yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dan dasar pola pemikiran yang mereka yakini tersebut.
3.      Aliran Asy’ariyah
Tokoh aliran ini Abu Hasan Al-Asy’ari yang lahir di Basrah pada tahun 873 M dan wafat tahun 935 M. Pada mulanya Al-Asy’ari adalah murid Al-Jubba’i salah seorang tokoh terkemuka aliran mu’tazilah.
Walaupun Al-Asy’ari telah berpuluhan tahun menganut paham mu’tazilah akhirnya ia meninggalkan aliran mu’tazilah dengan alasan:
a.             Al-asy’ari bermimpi, dalam mimpinya itu Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadits-lah yang benar, dan mazhab mu’tazilah salah.
b.            Al-Asy’ari berdebat dengan gurunya Al-Jubba’i, dan dalam perdebatannya itu Al-Jubba’i tak dapat menjawab tantangan Al-Asy’ari sebagai muridnya.
4.      Aliran Salafiyah
Aliran ini muncul sebagai kelanjutan dari pemikiran Ahmad bin Hambalyang kemudian pemikirannyadiformulasikan secara lebih lengkap oleh Ahmad Ibn Taymiyah.
5.         Aliran Murji’ah
Murji’ah berasal dari bahasa arab yang berarti menunda atau dari kata raja’a yang berarti mengharapkan. Murjiah adalah bentuk isim fail dari kata tersebut di atas, berarti orang yang menunda atau orang yang mengharapkan. Dalam arti yang pertama dimaksudkan berarti golongan atau paham yang menanggungkan keputusan sesuatu hal (mulanya persoalan yang berbuat dosa besar) nanti dikelak kemudian hari disisi Allah. Sedang pengertian dalam arti yang kedua Murjiah ialah golongan yang mengharapkan ampunan dari Tuhan atas kesalahan dan dosanya (asal persoalan adalah orang mukmin yang berbuat dosa besar, mati sebelum bertobat).
6.         Aliran Syi’ah
Akar kata Syi’ah bermakna pihak, puak dan kelompok, yang diambil dari kata Syayya’a yang memiliki arti berpihak. Aliran ini menunjukkan pengikut Ali dalam hubungannya dengan peristiwa pergantian kekhalifahan setelah Rasulullah wafat.
  1. Pemikiran Kalam dan Modernisme
1.         Muhammad Ibn Abdul Wahab
Islam telah mengalami sejumlah pergerakan kebangkitan kembali yang cukup besar dalam dua abad terakhir.
Gerakan Abd Al-Wahab dikelompokkan sebagai pembaharuan revivalis pra-modernis yang dipandang sebagai denyut pertama kehidupan dalam Islam setelah kemeresotan yang pesat dalam abad sebelumnya.
2.         Muhammad Abduh
Umat Islam merespon pengikisan dunia tradisional dan penyikapan miring bangsa Barat terhadap Islam melalui usaha-usaha pembaharuan.
Abduh meyakini akan kemandirian dan potret diri Islam, ia berusaha menghilangkan unsure-unsur asing, sementara paparannya tentang doktrin-doktrin teologis bersifat modernistic dalam pengertian ia menghindari penggunaan bahasa teologis tradisional.
  1. Menuju Kalam Kontemporer Sebuah Wacana
1.         Karakteristik Muslim Kontemporer
Pemikiran tentang Islam senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan umat Islam itu sendiri. Umat Islam berkembang karena situasi dan kondisi yang mengelilinginya berkembang pula. Konsepsi-konsepsi kalam, yang muncul sekitar seribu tahun lalu, sekalipun pandangan-pandangannya dapat dicerna dan dipahami oleh generasi muslim era sekarang, tetapiu perlu adanya rekonstruksi sistematis sesuai dengan perkembangan zamannya.
2.         Orientasi Baru Kalam
Untuk menyikapi perkembangan pemikiran muslim dan pelestarian tradisi keilmuan klasik pada era modern sekarang ini, dua trend (aliran) pemikiran Islam kontemporer dapat menjadi inspirasi melakukan evaluasi kritis terhadap visi dan metode kalam
1.    Trend pemikiran Islam yang menggarisbawahi perlunya melestarikan tradisi keilmuan Islam yang telah terbangun sejak abad lalu.
2.    Trend pemikiran Islam yang didasari oleh tradisi pemikiran keagamaan yang bersifat kritis.


[1] Harun Nasution. Hlm 12-14
[2] Mircea Eliade, ed The Encyclopedia of Religion, Vol VII, Mac Millan Publishing Company, New York, 1987, hlm 231
[3] Ibid
[4] Sahilun A. Nashir, Ilmu Kalam, Bina Ilmu Surabaya, 1980, hlm 9
[5] Nurcholis Madjid, 1987, hlm 278
[6] Fazlir Rahman, Islam, terjemahan Ahsin Mohammad, Pustaka 1984, hlm 116
[7] Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bimtamg, Jakarta 1984, hlm 22

1 komentar: