Jumat, 29 April 2011

Fenomenologi

A.                Pengertian Fenomenologi
Istilah fenomenologi telah lama muncul dan digunakan, sejak Lambert, Kant dan juga Hegel, dengan arti yang berbeda-beda. Kant membedakan antara fenomena dan noumena. Yang mana yang pertama adalah menunjukkan kepada suatu dalam kesadaran dan yang kedua adalah realitas yang berbeda dari apa yang ditangkap oleh pengamat. Dan manusia tidak ada kemampuan untuk mengetahui noumena karena sifatnya yang terselubung dari pikiran dan indera.
Meskipun demikian fenomenologi berubah menjadi sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir pada zaman Husserl. Yang mengusung tema Epoche-Eiditic Vision dan Lebenswelt sebagai sarana untuk mengungkap fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Dan didalam makalah ini akan dibahas tentang konsep fenomenologi Husserl, dan metode yang digunakannya.
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: Phainestai yang berarti “menunjukkan” dan “Menampakkan diri sendiri. Yakni dengan menampakkan realita sesuai dengan dirinya sendiri . dan tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan antara manusia dengan realitas[1]. Keterkaitan ini mendorong manusia untuk mempelajari fenomena-fenomena yang ada dengan pengalaman langsung dengan realitas tersebut. Sehingga pengalaman tersebut akan memberikan sebuah penafsiran, yaitu esesnsi dari realitas tersebut. Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya atau menurut ungkapan Husserl zurruck zu den sachen selbt (kembalilah pada realitas itu sendiri). Dengan kata lain fenomenologi tidak membiarkan kita untuk mencampur fenomena yang ada dengan pikiran kita, dan membiarkan fenomena tersebut berjalan apa adanya. Karena pikiran itu hanya bersifat teoritis yang terikat oleh pengalaman indrawi yang bersifat relatif subyektif sedangkan fenomena adalah realitas yang bersifat obyektif.
Dengan membiarkan fenomena berjalan dengan sendirinya, maka apa yang terlihat adalah perbuatan-perbuatan kesadaran yang mana berhubungan dengan obyek-obyek serta pendirian-pendirian yang diamati itu. Jadi fenomenologi itu menguraikan apa yang dilihatnya dengan melepaskan tiap pretensi bahwa ia sanggup menerangkan sesuatu tentang apa yang diluar kesadaran. sehingga dengan melepaskan segala pikiran tentang fenomena tersebut dan dari segala yang bukan esensi dari fenomena, maka akan terciptalah pengertian murni. Jadi fenomenologi menjembatani manusia untuk mengungkapkan noumena dari fenomena.
Dan hal ini berbeda dengan apa yang diungkapan oleh Kant, yang mana ia menyatakan bahwasanya tidak mungkin bagi seseorang untuk mengungkapkan noumena, sebagaimana yang ia ungkapakan:
“Beings of the understanding are admitted, but with the incalculation of this rule which admits of no exception; that we neither know nor can know anything determinate whatever about these pure beings of the understanding, because our pure concepts of the understanding as well as our pure intuitions extend to nothing but objects of possible experience, consequently to mere things of sense”.
Dalam ungkapannya tersebut Kant berusaha untuk menjelaskan bahwasanya esensi dari noumena (the Understanding) adalah diakui, tetapi dengan tanpa adanya perhitungan dari aturan yang tidak mengakui pengecualian; oleh karena itu kita tidak tahu dan tidak dapat mengetahui penjelasan mengenai keberdaan dari noumena, karena konsep murni dari noumena adalah sebuah intuisi murni yang terlepas dari fenomena yang dialami.
Jadi dengan kata lain, Husserl dengan fenomenologinya mencoba untuk mengkritik fenomenologi Kant, terutama konsepnya tentang pemisahan antara fenomena dan noumena tersebut.
B.     Tokoh Fenomenologi
    1. Edmunt Gustav Albrecht Huserl
Nama lengkapnya adalah Edmund Gustav Albrecht Husserl (8 April 1859, Prostějov – 26 April 1938, Freiburg)[2], ia adalah seorang filsuf Jerman, yang dikenal sebagai bapak fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomena obyektif.
Husserl dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostějov (Prossnitz), Moravia, Ceko (yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Austria). Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf; karya filsafatnya mempengaruhi, antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada 1887 Husserl berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) dari 1887, lalu di Göttingen sebagai profesor dari 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari 1916 hingga ia pensiun pada 1928. Setelah itu, ia melanjutkan penelitiannay dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga kemudian dilarang menggunakannya - karena ia keturunan Yahudi - yang saat itu dipimpin oleh rektor, dan sebagian karena pengaruh dari bekas muridnya, yang juga anak emasnya, Martin Heidegge
    1. MAX SCHELER
Max Scheler (1874-1928), ia juga mempergunakan metode Husserl itu dan tidaklah diusahakan untuk menganalisa dan menerangkan lebih lanjut hal mengerti serta gejala-gejalanya. Yang diutamakannya ialah penyelidikan serta secara fenomenologis, etika, dan filsafat agama. Manusia itu bukanlah pencipta nilai tingkah laku melainhan nilai-nilai itu berlaku lepas dari pada manusia.[3]
C.    Metode Fenomenologi
Dalam membaca fenomena sosial, Husserl dalam fenomenologinya menggunakan  metode epoche-eiditic vision dan lebenswelt. Metode ini merupakan sebuah metode yang berbeda dari metode yang pernah digunakan oleh fenomenolog sebelumnya.
a. Metode Epoche dan Eiditic Vision
Husserl dalam metode fenomenologinya menggunakan prisip Epoche dan eidetic vision. Kata Epoche berasal dari bahasa yunani yang berarti “menunda keputusan” atau “ mengosongkan diri dari keyakinan tertentu.” Dengan kata lain Husserl dalam metode Epoche menyuruh untuk melepaskan atau menghilangkan campur tangan dari pikiran dan teori-teori yang ada terhadap fenomena, dan membiarkan fenomena itu berjalan dengan sendirinya. Karena secara langsung maupun tidak langsung teori-teori tersebut telah memberikan sebuah pandangan yang salah terhadap fenomena yang ada dan menyebabkan kebenaran realitas menjauh dari fenomena tersebut. Sehingga dengan mengosongkan fenomena dari teori maka fenomena tersebut akan tetap murni dan Pure. Jadi Husserl dengan Epoche-nya berusaha menyusun metodos yang menyingkapkan, seolah-olah “memperlihatkan” keadaan hakiki pada tiap-tiap obyek pengetahuan yang mungkin ada, tanpa dicampuri dengan refleksi dan pengetahuan pengalaman sedikitpun jua.
Setelah mendapatkan fenomea-fenomena yang pure Husserl melanjutkan ke metode yang kedua, Eiditic Vision atau disebut juga dengan “Reduksi”, yaitu mereduksi atau menyaring fenomena-fenomena yang ada untuk sampai ke-Eidos-nya atau intisari yang sejati. Jadi dengan Eiditic Vision tersebut maka akan tersaring dan terbuang dari fenomena-fenomena tersebut perasaan, pikiran dan pandangan yang terbentuk dari pegalaman

b. Metode Lebenswelt (Dunia-Kehidupan)
Ilmu sosial dalam fenomenologi Husserl selalu terkait dengan konsep “Lebenswelt” (Dunia-Kehidupan). Dengan fenomenologinya Husserl berusaha untuk membangun suatu metode baru dalam ilmu sosial. Sehingga Ilmu tidaklah merupakan tujuan yang melekat pada dirinya sendiri, melaikan harus dipandang secara fungsional sebagai bagian dari kebijaksanaan manusia yang ditujukan untuk memperoleh pengetahuan serta untuk menguasai alam. Jadi Ilmu tidak lagi dipandang sebagai deskripsi mengenai kenyataan yang lebih dalam, yang dapat dipandang sebagai pembatasan terhadap dunia tempat manusia hidup sehari-hari. Karena apabila ilmu dijadikan sebagai batas pandang dari realitas, maka kehidupan manusia adalah tidak ubahnya sebuah kehidupan mekanik yang dikontrol oleh ilmu-ilmu tersebut.
Lebenswelt adalah aliran kehidupan langsung yang belum kita refleksikan, medan multiformitas pengalaman, proses hidup yang senantiasa berdenyut dan kita alami namun tidak sangat jelas bentuknya, nyaris terselubung karena kompleksitasnya. Lebenswelt ini adalah dunia eksistensial dan eksperiensial nyata yang mendahului pemilahan abstrak subyek- obyek beserta segala konstruksi ilmiah ikutannya. Karena dunia kehidupan adalah suatu dunia yang penuh definisi dan definisi itu bersifat abstraksi, maka tugas dari fenomenologi adalah sebagai deskripsi atas sejarah Lebenswelt tersebut untuk menemukan endapan makna yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari.
Tawaran Husserl Terhadap Realitas
Dengan metode epoche-eidetic vision dan lebenswelt Husserl mencoba untuk menawarkan bagaimana memahami sebuah realitas secara murni, karena adanya kecenderungan realitas tersebut tersembunyi oleh teori-teori yang telah berkembang sebelumnya. Hal ini dikarenakan realitas itu senantiasa dipengaruhi oleh pengalaman inderawi yang cenderung terikat oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, agar esensi dari realitas itu dapat terbaca, maka fenomenologi berusaha mengungkapkan esensi dari realitas tanpa memisahkan esensi tersebut dari fenomenanya dengan cara melepaskan segala pikiran dan pengalaman inderawi yang mempengaruhinya. Jadi yang terpenting dalam fenomenologi adalah mempelajari apa sebenarnya yang dihadapi tanpa membiarkan faktor apapun melakukan intervensi dan menjauhkannya dari usaha melakukan analisis langsung terhadap esensi.
Menurut filsafat fenomenologi yang diajukan oleh Husserl, usaha untuk mengapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi atau penyaeinganyan terdiri dari :
1.                    Reduksi Fenomenologi, harus menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud semurni murninya.
2.                    Reduksi eiditis, menyaring atau penempatan dam tanda kurung sebagai hal yang bukan eidos (inti sari).
3.                    Reduksi transendental, semua yang tak ada hubungannya dengan kesadaran murni harus dihurunkan.[4]


[1] Dr.Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat………hal. 140
[2] Prof.I.R. Poedjawijatna, Pembimbingan kearah Alam Filsafat……hal. 139
[3] Ibid, hal……..140
[4] Sudarsono, Ilmu Filsafat……hal. 342-343 : Muji Sutrisno dan Budi Hardiman, Para Filsuf….hlm. 88-89.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar